Minggu, 15 Agustus 2010

Ashton Kutcher dan Katrherin Haegl : Dua nama yang menjamin film bakal bermutu buruk

Ashton Kutcher, aktor berusia 32, menjadi terkenal setelah memerankan film The 70's sebagai Michael Kelso. Kutcher yang bernama asli Christopher Ashton Kutcher, sampai saat ini telah membintangi setidaknya 25 film dalam kurun waktu 12 tahun ini. Dia juga pernah menjadi produser dari beberapa film dan acara yang ditayangkan MTV.

Melihat kiprahnya di Hollywood selama 12 tahun ini, sebagian besar film Kutcher bergenre komedi, seperti film yang baru-baru ini tayang di bioskop Indonesia, yaitu The Killers. Film ini sepertinya "diniatkan" untuk bergenre komedi action romantis. Film ini dibuka dengan adegan Kutcher dengan lawan mainnya, yaitu Katherin Haegl, yang sedang saling jatuh cinta. Terlihat jelas kedua pemain ini berusaha cukup keras untuk memberikan adegan-adegan romantis dan lucu, tetapi sayangnya, para penonton harus menunggu lama dan sedikit mengerutkan kening hanya untuk menunggu tertawa lepas atau berdecak kagum. Adegan selanjutnya, ketika tiba-tiba para tetangga atau rekan kerja pasangan ini menjadi pembunuh yang mahir menggunakan senjata api laras panjang, pistol, tendangan karate, ngebut-ngebutan a la polisi, atau bermain pisau dengan kecepatan tinggi, para penonton bukannya dibuat kagum, mereka malah lagi-lagi mengerutkan kening karena merasa menemukan hal ganjil, atau bisa dikatakan : absurd.

The Killers bercerita tentang Spencer Aimes (Kutcher) yang berniat pensiun sebagai pembunuh bayaran karena jatuh cinta dan ingin hidup normal. Namun, rekan-rekan Aimes sesama pembunuh bayaran tidak terima begitu saja pengunduran dirinya. Pada usia ketiga pernikahan mereka, "atasan" Aimes pada agensi pembunub byaran datang lagi untuk memberikan tugas berikutnya. Namun, situasi menjadi di luar kendali ketika tiba-tiba Aimes menemukan 'atasannya" mati terbunuh di kamar hotelnya, dan bukan itu saja, Aimes juga menemukan semua tetangga beserta rekan kerja yang terlihat hidup normal tiba-tiba menjadi pembunuh yang sangat mahir menggunakan senjata api laras panjang, pistol, tendangan karate, permainan pisau kecepatan tinggi, dan ngebut-ngebutan a la polisi.

Hal ini terlihat sangat janggal, sehingga para penonton pastinya akan terbelalak dan berdecak, bukan karena kagum dengan adegan aksi, tetapi karena kekonyolan dan absurditas yang disuguhkan film ini.
Sepertinya sutradara dan para pemain cukup bekerja keras untuk memainkan peran masing-masing agar film yang tadinya 'diniatkan' bergenre komedi aksi romantis ini bisa menghibur penontonnya. Namun, sampai dengan akhir film, sayangnya film ini gagal sama sekali menghibur penontonnya. Bukannya terhibur, kita malah merasa rugi karena telah menghabiskan waktu kurang lebih 90 menit dan membayar tiket yang sebenarnya tidak mahal.

Baik Kutcher maupun Haegl, sama-sama mempertontonkan adegan-adegan tidak romantis yang membosankan, adegan aksi yang tidak masuk akal, dan komedi yang sama sekali tidak lucu.
Bertentangan dengan judul, yaitu The Killers yang terdengar sangar, isi film sesungguhnya jauh dari kesan itu. Walaupunpun film ini diperuntukkan untuk para penonton dewasa, dan ada beberapa adegan orang terbunuh dengan senjata api ataupun senjata tajam, namun tidak sedikit pun kita melihat darah. Ini memimbulkan kesan bahwa para crew film, terutama para special effect nya tidak bekerja secara serius. Malahan, film ini terkesan seperti film dadakan yang dibuat oleh para mahasiswa yang dikejar deadline untuk menyelesaikan tugas akhir berupa pembuatan film.

Menonton film ini selama kurang lebih 90 menit merupakan momen dimana kita merasa membuang waktu dengan percuma, karena sepanjang film kita hanya berpikir; kapan adegan menariknya muncul, dan kapan film ini selesai. Bahkan setelah film selesai pun, kita masih harus dibuat bertanya dan mengerutkan kening : "lho, film nya sudah selesai?"

Kutcher dengan Haegl, terutama Haegl, sepertinya harus berlatih lebih banyak untuk dapat dikatakan sebagai aktor dan aktris, karena dalam beberapa film bergenre sama, tertangkap kesan bahwa kedua pemain ini hanya memanfaatkan pesona fisik tanpa mampu memberikan akting yang mempesona.

Dari bebrapa film yang dibintangi kedua pemain ini, spertinya nama Ashton Kutcher dan Katherin Haegl merupakan nama-nama yang menjamin suatu film akan bermutu sangat tidak bagus.

Selasa, 27 Juli 2010

Andrea Hirata
The inspiration

Penulis pendek yang wajahnya seperti guru honorer yang 16 tahun tak diangkat juga ini, pria kecil dari sebuah udik pulau terpencil, lelaki berwajah dangdut, merupakan inspirasi bagi semua orang.

Matt Monroe, dalam sebuah lagunya boleh saja mengatakan dengan mudah ia bisa pulang pergi dari Russia ke England, atau New York, atau Stockholm, atau Guadalajara, atau Caracas, karena ia seorang Matt Monroe, seorang penyani kelas dunia pada zamannya. Tetapi, ketika perjalanan melampui separuh dunia yang dilakukan Andrea Hirata, pria udik berwajah dangdut itu benar-benar dilakukan walaupun hanya dengan menjadi bacpacker, benar-benar suatu kejutan yang menyenangkan.
Ribuan atau bahkan jutaan manusia di negeri yang katanya makmur ini akan merasa tercambuk mentalnya, dan dengan serta merta memiliki mimpi untuk menaklukan dunia. Atau setidaknya, bertahan hidup di dunia yang sulit bersahabat, hanya berbekal sebuah mimpi. Mimpi yang dijejalkan Ikal ke benak kita melalui buku-buku norak tapi luar biasanya itu.

Andrea Hirata ratusan kali menyebut dirinya berasal dari kampung kecil di pulau terpencil, dan ia memang membuktikan "keudikannya " itu melalui bahasanya yang seringkali terkesan "ndangdut", norak, penuh nuansa roman picisan, dan bahasa sastra yang dipaksakan.
Namun, keudikan dan kenorakan inilah yang membuat ia berbeda. Meskipun norak, namun bahasanya santun luar biasa, sehingga setiap kata selalu enak dibaca, tanpa harus mengerutkan kening atau bergidik. Kesantunan ini jarang sekali dimiliki oleh para penulis muda Indonesia zamam sekarang, yang mengkritik segala sesuatu dengan cara yang sarkas dan bahasa yang seringkali kotor, tidak enak dibaca, menyakitkan untuk didengar.

Novelis kodian ini, benar-benar luar biasa. Dia menulis hal yang biasa saja sebenarnya, namun dengan rincian yang tidak biasa, yang tidak banyak digunakan banyak penulis, dan bahasa yang sudah banyak ditinggalkan. Membaca karya Andrea atau Ikal, Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, Maryamah Karpov, dan Padang Bulan, seperti membaca karya sastra Indonesia angkatan Poedjangga Baroe. Bahasa santun, pergaulan santun, dan yang membuat karya Ikal luar biasa, ia mampu menyuguhkan kelucuan dalam setiap penceritaannya. Ikal membuat kemisikinan dan kebodohan menjadi sesuatu yang membuat tersenyum, walaupun semua orang tahu, dua hal itu biasanya hanya kabar buruk yang sudah melekat pada sebagian masyarakat Indonesia.