Selasa, 27 Juli 2010

Andrea Hirata
The inspiration

Penulis pendek yang wajahnya seperti guru honorer yang 16 tahun tak diangkat juga ini, pria kecil dari sebuah udik pulau terpencil, lelaki berwajah dangdut, merupakan inspirasi bagi semua orang.

Matt Monroe, dalam sebuah lagunya boleh saja mengatakan dengan mudah ia bisa pulang pergi dari Russia ke England, atau New York, atau Stockholm, atau Guadalajara, atau Caracas, karena ia seorang Matt Monroe, seorang penyani kelas dunia pada zamannya. Tetapi, ketika perjalanan melampui separuh dunia yang dilakukan Andrea Hirata, pria udik berwajah dangdut itu benar-benar dilakukan walaupun hanya dengan menjadi bacpacker, benar-benar suatu kejutan yang menyenangkan.
Ribuan atau bahkan jutaan manusia di negeri yang katanya makmur ini akan merasa tercambuk mentalnya, dan dengan serta merta memiliki mimpi untuk menaklukan dunia. Atau setidaknya, bertahan hidup di dunia yang sulit bersahabat, hanya berbekal sebuah mimpi. Mimpi yang dijejalkan Ikal ke benak kita melalui buku-buku norak tapi luar biasanya itu.

Andrea Hirata ratusan kali menyebut dirinya berasal dari kampung kecil di pulau terpencil, dan ia memang membuktikan "keudikannya " itu melalui bahasanya yang seringkali terkesan "ndangdut", norak, penuh nuansa roman picisan, dan bahasa sastra yang dipaksakan.
Namun, keudikan dan kenorakan inilah yang membuat ia berbeda. Meskipun norak, namun bahasanya santun luar biasa, sehingga setiap kata selalu enak dibaca, tanpa harus mengerutkan kening atau bergidik. Kesantunan ini jarang sekali dimiliki oleh para penulis muda Indonesia zamam sekarang, yang mengkritik segala sesuatu dengan cara yang sarkas dan bahasa yang seringkali kotor, tidak enak dibaca, menyakitkan untuk didengar.

Novelis kodian ini, benar-benar luar biasa. Dia menulis hal yang biasa saja sebenarnya, namun dengan rincian yang tidak biasa, yang tidak banyak digunakan banyak penulis, dan bahasa yang sudah banyak ditinggalkan. Membaca karya Andrea atau Ikal, Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, Maryamah Karpov, dan Padang Bulan, seperti membaca karya sastra Indonesia angkatan Poedjangga Baroe. Bahasa santun, pergaulan santun, dan yang membuat karya Ikal luar biasa, ia mampu menyuguhkan kelucuan dalam setiap penceritaannya. Ikal membuat kemisikinan dan kebodohan menjadi sesuatu yang membuat tersenyum, walaupun semua orang tahu, dua hal itu biasanya hanya kabar buruk yang sudah melekat pada sebagian masyarakat Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar